0

Psychology Takes Control Off The Pitch

Posted on Wednesday, March 6

Ryan Giggs sudah mencatat 1000th caps bersama Manchester United sepanjang karir profesionalnya, Cristiano Ronaldo pun untuk pertama kalinya telah kembali ke Stratford End. Namun tetap saja ada yang kurang dalam pertandingan United vs Madrid semalam. Apakah itu?



Berbicara tentang United vs Madrid semalam, tentu berbicara pula mengenai Sir Alex Ferguson dan Jose Mourinho. Rivalitas keduanya bukan yang terhebat. Mereka tidak bertemu secara regular di setiap musimnya. Tapi ibarat api dalam sekam, setiap kali keduanya bersua, selalu ada saja cerita di balik sesudahnya.

Masih segar dalam ingatan otak kita, Mourinho muda berlari sprint 100 meter ketika berselebrasi merayakan gol rebound Costinha bersama Porto di musim 2004 lalu. Lalu, kepalan jari di hadapan publik Nou Camp yang memaksa pemain Barcelona menghampirinya di semifinal Liga Champions musim 2010. Yang terbaru dan yang cukup fenomenal dari Mourinho, selebrasi meluncur di tanah dengan 2 kaki ketika gol menit akhir Ronaldo di Bernabeu menegaskan bahwa Manchester City masih terlalu hijau di Eropa. Meluncurnya 2 kaki Mou dengan kepalan 2 tangannya bahkan lebih diingat dibanding selebrasi Ronaldo sendiri kala itu.

Tetapi ketika pre-match interview pertandingan semalam, Mou telah berstatement bahwa dirinya tidak akan berlari sprint jarak pendek bila timnya menang serta tak akan menangis bila timnya pulang. Dan benar saja, dia membuktikan ucapannya. Tak banyak hal-hal menarik yang tertangkap kamera pada Mou di pertandingan semalam. Dia tidak meledak-meledak seperti biasanya. Bila ada satu yang menarik, mungkin sesaat setelah Nani diusir wasit. Mou menghampiri Fergie, lalu berbisik, dan Fergie seperti mengangguk. Dari scene tersebut, pundit Skysports yakni, Niall Quinn, berasumsi bahwa Mou membisikkan kalimat semacam, “It was a poor decision, wasn’t it?” pada Fergie.

Di akhir pertandingan, tepatnya saat post-match interview, Mou sekali lagi menunjukkan ada yang ‘salah’ dalam dirinya malam itu. Dia berkata, “The best team lost". Dia tidak seperti biasanya berkata sejumawa itu dalam suatu pertandingan yang tensinya setinggi kemarin. Entah ini benar atau tidak, menurut saya,  sesungguhnya apa yang dikatakan Mourinho bukan dalam bentuk berempati sepenuhnya, tetapi lebih ke seperti idiom singkat berbunyi “Saya merendah untuk ditinggikan..”

Sudah cukup kita membahas Mourinho. Ada satu lagi tokoh sepak bola yang cukup mencuri perhatian kemarin, yakni legenda United, Roy Keane.

Roy Keane semalam kembali muncul di publik sebagai pundit dari ITV. Salah satu statementnya yang mana bahwa keputusan wasit dengan mengusir Nani adalah suatu keputusan yang tepat. Saya tak mengerti apakah fans United menjadi murka seperti murkanya Fegie terhadap Keane di akhir karirnya di Old Trafford. Tapi yang jelas, tak ubahnya seperti Mourinho, Roy Keane sudah sejak lama dikenal pula sebagai sosok yang meledak-ledak. Di tahun 2005, ketika United dikalahkan 4-1 oleh Middlesbrough, Roy Keane secara terang-terangan berkata pada MUTV bahwa John O’Shea, Alan Smith, Kieran Richardson, dan Darren Fletcher yang notabenenya adalah rekan-rekan setimnya di United saat itu adalah para pemain yang malas di lapangan. Selain itu, Keane juga pernah berkata pada Rio Ferdinand, Just because you are paid £120,000-a-week and play well for 20 minutes against Tottenham, you think you are a superstar.”

Sebagai pihak netral dalam pertandingan semalam, 2 statement dari Mourinho dan Roy Keane terdengar sangat aneh bagi saya. Pun begitu untuk para fans United. They used to love Keane's freakness until last night.

Begitu lah sepak bola, tak melulu soal fisik, taktik, dan segala yang ada di atas lapangan. Hal-hal kecil di luar lapangan pun merupakan sesuatu yang menarik untuk diikuti.

Discussion

Leave a response